Thursday, July 17, 2008

ruangan

Sebuah Ruangan

Cerita di bawah ini tentang Brian Moore yang berusia 17 tahun, ditulis
olehnya sebagai tugas sekolah. Pokok bahasannya tentang sorga itu
seperti apa. "Aku membuat mereka terperangah," kata Brian kepada
ayahnya, Bruce.
"Cerita itu bikin heboh. Tulisan itu seperti sebuah bom saja. Itulah
yang terbaik yang pernah aku tulis." Dan itu juga merupakan tulisannya
yang terakhir.


Orangtua Brian telah melupakan esai yang ditulis Brian ini sampai
seorang saudara sepupu menemukannya ketika ia membersihkan kotak loker
milik remaja itu di SMA Teays Valley, Pickaway County, Ohio.

Brian baru saja meninggal beberapa jam yang lalu, namun orangtuanya
mati-matian mencari setiap barang peninggalan Brian: surat-surat dari
teman-teman sekolah dan gurunya, dan PR-nya. Hanya dua bulan sebelumnya,
ia telah menulis sebuah esai tentang pertemuannya dengan Tuhan Yesus di
suatu ruang arsip yang penuh kartu-kartu yang isinya memerinci setiap
saat dalam kehidupan remaja itu. Tetapi baru setelah kematian Brian,
Bruce dan Beth, mengetahui bahwa anaknya telah menerangkan pandangannya
tentang sorga.

Tulisan itu menimbulkan suatu dampak besar sehingga orang-orang ingin
membagikannya. "Anda merasa seperti ada di sana," kata pak Bruce Moore.
Brian meninggal pada tanggal 27 Mei, 1997, satu hari setelah Hari
Pahlawan Amerika Serikat. Ia sedang mengendarai mobilnya pulang ke rumah
dari rumah seorang teman ketika mobil itu keluar jalur Jalan Bulen
Pierce di Pickaway County dan menabrak suatu tiang. Ia keluar dari
mobilnya yang ringsek tanpa cedera namun ia menginjak kabel listrik
bawah tanah dan kesetrum.

Keluarga Moore membingkai satu salinan esai yang ditulis Brian dan
menggantungkannya pada dinding di ruang keluarga mereka. "Aku pikir
Tuhan telah memakai Brian untuk menjelaskan suatu hal. Aku kira kita
harus menemukan makna dari tulisan itu dan memetik manfaat darinya,"
kata Nyonya Beth Moore tentang esai itu.

Nyonya Moore dan suaminya ingin membagikan penglihatan anak mereka
tentang kehidupan setelah kematian. "Aku bahagia karena Brian. Aku tahu
dia telah ada di sorga. Aku tahu aku akan bertemu lagi dengannya."

Inilah esai Brian yang berjudul "RUANGAN".

Di antara sadar dan mimpi, aku menemukan diriku di sebuah ruangan. Tidak
ada ciri yang mencolok di dalam ruangan ini kecuali dindingnya penuh
dengan kartu-kartu arsip yang kecil. Kartu-kartu arsip itu seperti yang
ada di perpustakaan yang isinya memuat judul buku menurut pengarangnya
atau topik buku menurut abjad.

Tetapi arsip-arsip ini, yang membentang dari dasar lantai ke atas sampai
ke langit-langit dan nampaknya tidak ada habis-habisnya di sekeliling
dinding itu, memiliki judul yang berbeda-beda.

Pada saat aku mendekati dinding arsip ini, arsip yang pertama kali
menarik perhatianku berjudul "Cewek-cewek yang Aku Suka". Aku mulai
membuka arsip itu dan membuka kartu-kartu itu. Aku cepat-cepat
menutupnya, karena terkejut melihat semua nama-nama yang tertulis di
dalam arsip itu. Dan tanpa diberitahu siapapun, aku segera menyadari
dengan pasti aku ada dimana.

Ruangan tanpa kehidupan ini dengan kartu-kartu arsip yang kecil-kecil
merupakan sistem katalog bagi garis besar kehidupanku. Di sini tertulis
tindakan-tindakan setiap saat dalam kehidupanku, besar atau kecil,
dengan rincian yang tidak dapat dibandingkan dengan daya ingatku. Dengan
perasaan kagum dan ingin tahu, digabungkan dengan rasa ngeri, berkecamuk
di dalam diriku ketika aku mulai membuka kartu-kartu arsip itu secara
acak, menyelidiki isi arsip ini. Beberapa arsip membawa sukacita dan
kenangan yang manis; yang lainnya membuat aku malu dan menyesal
sedemikian hebat sehingga aku melirik lewat bahu aku apakah ada orang
lain yang melihat arsip ini.

Arsip berjudul "Teman-Teman" ada di sebelah arsip yang bertanda
"Teman-teman yang Aku Khianati". Judul arsip-arsip itu berkisar dari
hal-hal biasa yang membosankan sampai hal-hal yang aneh. "Buku-buku Yang
Aku Telah Baca". "Dusta-dusta yang Aku Katakan". "Penghiburan yang Aku
Berikan". "Lelucon yang Aku Tertawakan". Beberapa judul ada yang sangat
tepat menjelaskan kekonyolannya: "Makian Buat Saudara-saudaraku".

Arsip lain memuat judul yang sama sekali tak membuat aku tertawa:
"Hal-hal yang Aku Perbuat dalam Kemarahanku.", "Gerutuanku terhadap
Orangtuaku".
Aku tak pernah berhenti dikejutkan oleh isi arsip-arsip ini. Seringkali
di sana ada lebih banyak lagi kartu arsip tentang suatu hal daripada
yang aku bayangkan. Kadang-kadang ada yang lebih sedikit dari yang aku
harapkan.
Aku terpana melihat seluruh isi kehidupanku yang telah aku jalani
seperti yang direkam di dalam arsip ini.

Mungkinkah aku memiliki waktu untuk mengisi masing-masing arsip ini yang
berjumlah ribuan bahkan jutaan kartu? Namun setiap kartu arsip itu
menegaskan kenyataan itu. Setiap kartu itu tertulis dengan tulisan
tanganku sendiri. Setiap kartu itu ditanda-tangani dengan tanda tanganku
sendiri.

Ketika aku menarik kartu arsip bertanda "Pertunjukan-pertunjukan TV yang
Aku Tonton", aku menyadari bahwa arsip ini semakin bertambah memuat
isinya. Kartu-kartu arsip tentang acara TV yang kutonton itu disusun
dengan padat, dan setelah dua atau tiga yard, aku tak dapat menemukan
ujung arsip itu. Aku menutupnya, merasa malu, bukan karena kualitas
tontonan TV itu, tetapi karena betapa banyaknya waktu yang telah aku
habiskan di depan TV seperti yang ditunjukkan di dalam arsip ini.

Ketika aku sampai pada arsip yang bertanda "Pikiran-Pikiran yang
Ngeres", aku merasa merinding di sekujur tubuhku. Aku menarik arsip ini
hanya satu inci, tak mau melihat seberapa banyak isinya, dan menarik
sebuah kartu arsip. Aku terperangah melihat isinya yang lengkap dan
persis. Aku merasa mual mengetahui bahwa ada saat di hidupku yang pernah
memikirkan hal-hal kotor seperti yang dicatat di kartu itu. Aku merasa
marah.

Satu pikiran menguasai otakku: Tak ada seorangpun yang boleh melihat isi
kartu-kartu arsip in! Tak ada seorangpun yang boleh memasuki ruangan
ini!
Aku harus menghancurkan arsip-arsip ini! Dengan mengamuk bagai orang
gila aku mengacak-acak dan melemparkan kartu-kartu arsip ini. Tak peduli
berapa banyaknya kartu arsip ini, aku harus mengosongkannya dan
membakarnya.
Namun pada saat aku mengambil dan menaruhnya di suatu sisi dan
menumpuknya di lantai, aku tak dapat menghancurkan satu kartupun. Aku
mulai menjadi putus asa dan menarik sebuah kartu arsip, hanya mendapati
bahwa kartu itu sekuat baja ketika aku mencoba merobeknya. Merasa kalah
dan tak berdaya, aku mengembalikan kartu arsip itu ke tempatnya. Sambil
menyandarkan kepalaku di dinding, aku mengeluarkan keluhan panjang yang
mengasihani diri sendiri.

Dan kemudian aku melihatnya. Kartu itu berjudul "Orang-orang yang Pernah
Aku Bagikan Injil". Kotak arsip ini lebih bercahaya dibandingkan kotak
arsip di sekitarnya, lebih baru, dan hampir kosong isinya. Aku tarik
kotak arsip ini dan sangat pendek, tidak lebih dari tiga inci
panjangnya. Aku dapat menghitung jumlah kartu-kartu itu dengan jari di
satu tangan. Dan kemudian mengalirlah air mataku. Aku mulai menangis.
Sesenggukan begitu dalam sehingga sampai terasa sakit. Rasa sakit itu
menjalar dari dalam perutku dan mengguncang seluruh tubuhku. Aku jatuh
tersungkur, berlutut, dan menangis. Aku menangis karena malu, dikuasai
perasaan yang memalukan karena perbuatanku. Jajaran kotak arsip ini
membayang di antara air mataku. Tak ada seorangpun yang boleh melihat
ruangan ini, tak seorangpun boleh.

Aku harus mengunci ruangan ini dan menyembunyikan kuncinya. Namun ketika
aku menghapus air mata ini, aku melihat Dia.

Oh, jangan! Jangan Dia! Jangan di sini. Oh, yang lain boleh asalkan
jangan Yesus! Aku memandang tanpa daya ketika Ia mulai membuka
arsip-arsip itu dan membaca kartu-kartunya. Aku tak tahan melihat
bagaimana reaksi-Nya.
Dan pada saat aku memberanikan diri memandang wajah-Nya, aku melihat
dukacita yang lebih dalam dari pada dukacitaku. Ia nampaknya dengan
intuisi yang kuat mendapati kotak-kotak arsip yang paling buruk.

Mengapa Ia harus membaca setiap arsip ini? Akhirnya Ia berbalik dan
memandangku dari seberang di ruangan itu. Ia memandangku dengan rasa iba
di mata-Nya. Namun itu rasa iba, bukan rasa marah terhadapku. Aku
menundukkan kepalaku, menutupi wajahku dengan tanganku, dan mulai
menangis lagi. Ia berjalan mendekat dan merangkulku. Ia seharusnya dapat
mengatakan banyak hal. Namun Ia tidak berkata sepatah katapun. Ia hanya
menangis bersamaku.

Kemudian Ia berdiri dan berjalan kembali ke arah dinding arsip-arsip.
Mulai dari ujung yang satu di ruangan itu, Ia mengambil satu arsip dan,
satu demi satu, mulai menandatangani nama-Nya di atas tanda tanganku
pada masing-masing kartu arsip. "Jangan!" seruku bergegas ke arah-Nya.
Apa yang dapat aku katakan hanyalah "Jangan, jangan!" ketika aku merebut
kartu itu dari tangan-Nya. Nama-Nya jangan sampai ada di kartu-kartu
arsip itu.
Namun demikian tanpa dapat kucegah, tertulis di semua kartu itu nama-Nya
dengan tinta merah, begitu jelas, dan begitu hidup. Nama Yesus menutupi
namaku. Kartu itu ditulisi dengan darah Yesus! Ia dengan lembut
mengambil kembali kartu-kartu arsip yang aku rebut tadi. Ia tersenyum
dengan sedih dan mulai menandatangani kartu-kartu itu. Aku kira aku
tidak akan pernah mengerti bagaimana Ia melakukannya dengan demikian
cepat, namun kemudian segera menyelesaikan kartu terakhir dan berjalan
mendekatiku. Ia menaruh tangan-Nya di pundakku dan berkata, "Sudah
selesai!"

Aku bangkit berdiri, dan Ia menuntunku ke luar ruangan itu. Tidak ada
kunci di pintu ruangan itu. Masih ada kartu-kartu yang akan ditulis
dalam sisa kehidupanku.

"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes
3:16)

Jika anda ingin meneruskan pesan ini kepada sebanyak mungkin orang-orang
sehingga kasih Tuhan Yesus akan menjamah hidup mereka, forwardlah email
ini! Arsip "Orang-Orang yang Aku Bagikan Injil" milikku akan makin
bertambah besar, bagaimana dengan milik anda?

No comments: